Senin, 26 Mei 2008

BELAJAR DARI ANAK 2 : PIRING PECAH

Hari Minggu siang saya dan keluarga makan di padang. Di rumah makan padang maksudnya. Saya dan istri saya makan duluan. Sedangkan mbak pengasuh anak saya makan belakangan. Karena dia harus menjaga dulu anak saya Fadel. Kenapa Fadel harus dijaga? Karena dia masih kecil. Baru 13 bulan usianya. Fadel lagi lincah-lincahnya. Semua barang ingin dipegangnya. Rasa keingintahuannya besar. Fadel belum lancar jalan. Masih tertatih-tatih. Ketika Fadel berdiri diatas kursi dekat meja makan rumah makan itu. Firasat saya mengatakan bahwa piring-piring harus dijauhkan dari jangkauan Fadel. Ataupun Fadel yang harus dijauhkan dari piring-piring berisikan berbagai masakan padang itu. Dan benar saja tidak sampai semenit setelahnya. Fadel telah menarik sebuah piring dari atas meja. Berhubung itu piring beling. Bukan piring kertas. Serta merta (baru kali ini saya gunakan kata ”serta merta”) piring itu pecah begitu mendarat di lantai. Posisi saya waktu itu adalah lagi nikmat-nikmatnya makan kikil. Hampir saja emosi jiwa saya keluar. Untunglah saya segera sadar. Saya kendalikan diri saya. Saya tatap mata anak lelakiku itu. Ada perasaan bersalah dikedua bola matanya. Kemudian dia berkata ”..cah” (mungkin maksudnya ”pecah”). Saya pun langsung mengirimkan padanya senyuman seraya berkata ” iya ga apa-apa Del, nanti piringnya diberesin” Lalu pancaran keceriaan tersingkap lagi dari wajahnya menggantikan raut ketakuan dan rasa bersalahnya. Beberapa saat kemudian Fadel pun tertawa dan bercanda lagi seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Sekali lagi Fadel telah menjadi sarana Saya untuk belajar. Kali ini saya belajar apa yang namanya KESABARAN. Saya orang yang kurang bersabar. Coba seandainya jika amarah saya keluar waktu itu. Rugilah saya. Piring bisa diganti. Tetapi luka hati yang mungkin tertanam dalam jiwa Fadel akan lama membekas. Hal kedua yang saya belajar adalah memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan. Fadel telah menunjukkan pada saya bahwa membuat kesalahan itu tidak masalah. Selama kita mengakui dan memperbaikinya. Terima kasih Fadel, Papi belajar lagi dari kamu.

Kamis, 15 Mei 2008

Belajar dari Anak I

Anak-anak adalah makhluk yang ajaib. Cobalah ingat waktu kita masih anak-anak. Sebagian besar dari kita akan tersenyum mengingat tingkah laku kita sendiri. Saya termasuk anak yang banyak terkenang ceritanya. Berbagai kejadian tragis seperti keserempet becak, kaki kejepit pipa ataupun membuat kompor meleduk di dapur nenek saya. Ada juga kejadian haru saat kakekku meninggal dunia saat saya baru mengenal dekat dengan beliau. Tentu ada juga cerita bahagia dan senang dalam keluarga kami.
Sekarang saya dititipi Allah seorang anak laki-laki. Secara fisik mirip-mirip dengan saya waktu kecil. Saya amati perkembangan anakku dari hari ke hari. Walau kadang aku pulang kerja dia sudah tidur. (Maafkan Papi ya Fadel). Tadinya saya berpikir dan berusaha bagaimana caranya mendidik Fadel anakku dengan cara terbaik yang dapat kulakukan. Tetapi belakangan paradigma itu sedikit berubah. Ternyata Fadel pun tak disadari telah mendidik Saya. Dia telah membuat Saya harus bisa menjadi lelaki yang bertanggungjawab atas keluarga. Fadel juga menguji kesabaran dan ketabahanku.
Ternyata kita harus banyak belajar dari anak-anak.Mereka bisa tertawa lepas. Mereka memaafkan orang lain dan dirinya sendiri. Mereka melupakan kesalahan hari kemarin. Mereka tidak merisaukan hari esok. Mereka benar-benar menikmati hari ini, saat ini, moment ini. Suatu hal yang sulit dilakukan orang yang telah beranjak dewasa termasuk saya.